LAPORAN BACA
WACANA
Oleh : Ahmad Rijal
Nasrullah
NPM : 180210120025
Sumber : Buku Wacana &
Pragmatik
Penyusun buku : Prof. Dr. T. Fatimah Djajasudarma
Penerbit : refika ADITAMA
Tahun terbit : 2012
Linguistik memiliki tataran bahasa yang lebih
luas dari kalimat (rentetan kalimat-paragraf) yang disebut wacana. Istilah
wacana merupakan istilah yang muncul sekitar tahun 1970-an di Indonesia (dari
bahasa Inggris discousre). Wacana membuat rentetan kalimat yang berhubungan,
menghubungkan presposisi yang satu dengan proposisi lainnya, membentuk satu
kesatuan informasi. Proposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi
komunikasi (dari pembicaraan); atau proposisi adalah isi konsep yang masih
kasar yang melahirkan statment (pernyataan kalimat). Pemahaman tersebut
mengingatkan kita pada segitiga Ogden & Richard (1923) mengenai
hubungan proposisi dengan Tought of
reference (makna-konsep).
Satuan yang minimun bagi wacana adalah apa
yang disebut klausa. Klausa berfungsi sebagai penyampai pesan, memiliki
struktur yang disusun berdasarkan kaidah (pola urutan) sehingga komunikatif.
Para ahli berpendapat bahwa wacana merupakan klaster kalimat yang memiliki
sastu kesatuan informasi yang komunikatif. Sasmpai akhir dasawarsa enam puluhan
analisis wacana belum mendapat perhatian dari para ahli bahasa. Analisis wacana
mencapai taha perkembangannya baru pada tahun 1970-an. Firth (1935)
adalah ahli bahasa yang pertama kali menganjurkan studi wacana, melalui
gagasannya bahwa konteks situasi perlu diteliti para linguis karena studi
bahasa dan kerja bahasa ada pada konteks. Studi bahasa tidak dapat dilakukan
bila hanya bergantung pada penataan-penataan linier (linier arrangements).
Studi bahasa harus meliputi gramatika dan makna. Gagasan Firth tentang
makna (semantik) berdasrkan konteks yang diannggap sebagai hasil suatu
perangkat kulminasi kontekstual dalam konteks budaya suatu masyarakat (Firth di
dalam Rafferty, 1982: 2).
Pemahaman dan anjuran Firth kemudian dilupakan
orang dan pada saat itu tidak berkembang karena pengruh Bloomfield, yang lebih
menekankan struktur, lebih berpengaruh kepada ahli-ahli bahasa sejak tahun 1933
dan mmendominasi penelitian bahsa pada zaman itu. Dalam studi wacana, kita
tidak bisa hanya menelaah bagian-bagian bahasa sebagai unsur kalimat (property),
tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan
yang utuh. Untuk menganilisis wacana, perli dipahami makna wacana itu sendiri
(Djajasudarma, 1991).
A. Wacana
Para ahli bahasa pada umumya berpendapat sama
tentang wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal
lain ada perbedaannya. Perbedaanya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal
tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat
lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Sebenarnya, wacana utuh harus
dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren, sedangkan kohesif
dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukung (bentuk).
Pendapat para ahli bahasa tentang wacana
mengingatkan kita pada pemahaman bahwa wacana adalah: (1) perkataan, ucapan,
tutur yang merupakan satu kesatuan; (2) keseluruhan tutur (lihat Adiwimarta,
dkk,. 1983). Dalam hal ini, wacana digambarkan wujudnya dengan keseluruhan
tutur yang menggambarkan muatan makna (semantik) yang disukung wacana. Bila
kita menyimak pendapat Edmonson di dalam Spoken Discourse: A Model
for Analysis (1981), wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur
diwujudkan di dalam perilaku linguistik (bahsa) atau lainnya (Edmonson, 1981:
4). Disini wacana terikat dengan peristiwa yang terstruktur, dan lebih jauh
dijelaskan pula bahwa teks adalah urutan-urutan ekspresi linguistik yang
terstruktur membentuk keseluruhan yang padu atau uniter. Dengan demikian, di
dalam hal ini penulis wacana yang terikat peristiwa (urutan ekspresi
linguistik) yang membentuk keseluruhan yang padu (uniter) dari teks
terstruktur. Di Eropa penelitian wacana dikenal textlinguistics atau textgrammar.
Para sarjana Eropa tidak membedakan teks dari wacana; wacana adalah sebuah alat
dari teks.
B. Jenis Wacana
Jenis wacana dapat dikaji dari segi
eksistensinya (reaitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian.
Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal (1) dan nonverbal (2) sebagai
media komunikasi berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi
pemaparan, kita dapat memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif,
prosedural, ekspositori, dan horatori; dari jenis pemakaian kita akan
mendapatkan wujud monolog (satu orang penutur), dialog (dua orang penutur), dan
pilolog (lebih dari dua orang penutur) (tentang monolog, dialog, dan pilolog,
lihat Halim, 1974).
1. Realitas Wacana
Realitas Wacana dalam hal ini adalah
eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rankaian kebahasaan verbal
atau language exist (kehadiran bahasa) dengan kelengkapan struktural
bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau langage exist mengacu
pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (yakni rangkaian isyarat yang berupa
isyarat, a.l berupa:
I.
Isyarat dengan gerak-gerik kepala atau muka,
meliputi :
a. gerakan mata, a.l. melotot, berkedip,
menatap tajam.
b. gerak bibir, a.l. senyum tertawa, meringis.
c. gerak kepala, a.l. mengangguk, menggeleng.
d. perubahan raut muka (wajah), a.l.
mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam
II.
Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota
tubuh selain kepala, meliputi:
a. gerak tangan, a.l. melambai, mengepal,
mengacugkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.
b. gerak kaki, a.l. mengayun,
menghentak-hentakan, menendang-nendang.
c. gerak seluruh tubuh, a.l. seperti terlihat
pada pantomim, memiliki makna wacana teks.
Tanda-tanda nonbahasa yang bermakna berupa :
(1) tanda-tanda rambu-rambu lalu lintas, dan (2) di luar rambu-rambu lalu
lintas. Tanda lalu lintas misal, dengan warna lampu stopan: merah berarti
‘berhanti’, kuning berarti ‘siap untuk melaju’, dan Hijau berarti
boleh ‘melaju’; tanda di luar lalu lintas adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan
dari kentongan misalnya, berarti ada bahaya. Realitas makna kentongan
diwujudkan ileh masyarakat pendukung wacana tersebut.
II. Media Komunikasi Wacana
Wujud
wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan dan
tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya brupa:
(1) Sebuah
percakpaan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di
warung kopi.
(2) Satu
pengenalan ikatan percakpan (rangkaian yang lengkap, biasanya memuat: gambaran situasi, maksud,
rangkain penggunaan bahasa) yang berupa:
Ania : “Apakah kau punya korek?”
Rudi : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi”.
Penggalan wacana itu berupa bagian dari
percakapan dan merupakan dan merupakan situasi yang komunikatif. Wacana dengan
media komunikasi tulis dapat berwujud, a.l.:
(1) Sebuah
teks/bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang
mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh, misalnya sepucuk surat,
sekelumit cerita,sepenggal uraian ilmiah.
(2) Sebuah
alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat
dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
(3) Sebuah
wacana (khusus bahasa Inonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat
majemuk dengan subordinat dan koordinasi atau sistem ellipsis.
3. Pemaparan Wacana
Pemaparan wacana ini sama dengan tinjauan isi,
cara penyusunan, dan sifatnya. Berdasarkan pemaparan, wacana meliputi wacana:
naratif, prosedural, horatori, ekspositori, dan deskriptif (lihat Llamzom,
1984).
Wacana naratif adalah rangkain
tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui
penonjolan pelaku (persona I atau III). Isi wacana ditujukan ke arah memperluas
pengetahuan pendengar atau pembaca. Kakuatan wacana ini terletak pada urutan cerita
berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).
Wacana
prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu
secara berurutan dengan secara kronologis. Wacana prosedural disusun untuk
menjawab pertanyaan begaimana suatu peristiwa untuk pekerjaan dilakukan atau
dialami, atau bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan sesuatu, misalnya
cara memasak masakan tertentu, atau cara merawat mobil.
Wacana
horatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula
berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk lebih meyakinkan. Wacana ini
tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil. Wacana ini
diguunakan untuk mempengaruhi pendengar dan pembaca agar terpikat akan sesuatu
pendapat yang dikemukakan.
Wacana
ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu. Biasanya, berisi pendapat atau
simpulan dari sebuah pendangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel
pada majalah dan surat kabar termasuk wacana elspositori. Wacana ini dapat
berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan atau memaparkan sesuatu. Isi wacana
lebih menjelaskan dengan cara menguraikan begian-bagian pokok pikiran. Tujuan
yang ingin dicapai melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat
pemahaman akan sesuatu.
Wacana
deskriptif berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan
sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana ini
biasanya bertujuan untuk mencapai penghayatan dan imajinatif terhadap sesuatu
sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri
secara langsung. Wacana deskriptif ini, ada yang memaparkan sesuatu secara
objektif dan ada pula yang memaparkannya secara imajinatif.
Wacana
Dramatif menyangkut beberapa orang penutur persona dan sedikit bagian naratif.
Pentas drama merupaan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal dengan sebutan
‘sandiwara’. Tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama. Sendra tari
merupakan salah satu jenis drama tari, misalnya sendra tari “Lutung Kasarung”.
“Munding Laya di Kusumah”, sebagai sendra tari Sunda; di dalam bahasa Indonesia
dikenal sendra tari “Sriwijaya”.
Wacana
Epistolari digunakan dalam surat-surat, denga sistem dan bentuk tertentu.
Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea penutup.
Wacana
Seremonial berhubungna dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat
bahasa. Wacana seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara
perkawinan, upacara kematian, supacara syukuran, dsb. Wacana seremonial di
Indonesia dapat ditelusuri melalui bahasa daerah, salah satu contoh wacana pda
upacara perkawinan, sebagai nasihat bagi penganatin perempuan (upacara adat
Sunda di Jawa Barat).
Pada
kenyataannya, wacana tidak hanya memiliki satu sifat saja, wacana dapat
memiliki lebih dari satu sifat (jenis paparan). Hal tersebut lebih banyak
bergantung pada situasi yang dihadapi dan gaya yyang biasa digunakan oleh
penulis atau penutur.