Wasta :
Ahamd Rijal Nasrullah
NPM :
180210120025
Judul Novel :
Carita Budak Minggat
Pengaruh Kolonial dalam Novel anak dengan Carita
Budak Minggat (1930) mewarnai setiap rangkaian fenomena teks.
Kelas-kelas sosial nampak diperhatikan oleh Samsoedi, yang dititik beratkan kepada penggunaan kebahasaan yang
disesuaikan dengan mata pencaharian masyarakat Sunda yang diperbudak oleh bangsa
belanda. Tentu saja novel ini merupakan gambaran dari kondisi sosial Indonesia,
khususnya masyarakat Sunda pada masa penjajahan Indonesia oleh Belanda.
Buah pikir dalam novel ini tentu saja didasari
oleh wawasan Samsoedi yang dipengruhi oleh lingkungan pada masanya, apalagi Samsoedi
sangat senang menulis cerita tentang anak-anak. Tidak hanya bisa mengarang
cerita, Samsoedi juga memiliki keahlian dalam menggambar dan membuat lirik
lagu. Karyanya yang pertama berjudul Carita Nyi Halimah, yang
diterbitkan pada tahun (1928). Dua tahun kemudian menerbitkan tiga buku, yaitu:
Carita Budak Teuneung, Carita Budak Minggat, dan Carita Sidarun.
Pada tahun (1931) menerbitkan buku Jatining Sobat dan Babalik Pikir.
Berdasarkan karya-karyanya, Samsoedi merupakan
pengarang pertama Indinesia yang mengkhususkan diri menulis cerita tentang
anak-anak. Bukunya ditulus dengan menggunakan bahasa Sunda yang dapat dengan
mudah dipahami oleh anak-anak. Tentu saja hal itu didasari setelah selesai
duduk di Sekolah Guru (1917), yang kemudian ditempatkan menjadi Guru bantu di
Tangerang selama 6 tahun, disamping itu Samsoedi juga sering membantu membina
anak-anak di Penjara Kanak-Kanak Tangerang.
Tahun (1923) kembali bekerja di Bandung. Tujuh
tahun kemudian, kembali dipindahkan bekerja di Jakata, karena telah dijadikan
Redaktur Bale Pustaka, hingga runtuhya kedudukan Jepang ke tangan
Indonesia. Setelah merdeka, Samsoedi
mengarang buku dalam bahasa Indonesia yang berjudul Pasundan (1949), dan
buku berbahasa Sunda yang berjudul Carios Pangeran Dipanegara, diterbitkan
pada tahun 1980.
Tahun 1979, diterbitan buku Kisah Syafe’i
Sumarja, dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1980 diterbitkan
buku Minah dan Imron kemudian buku Kisah Mandor Hutan (1983). Buku
yang berbahasa Sunda yang terakhir yaitu
Si Bohim Tukang Sulap (1980). Dari tahun 1993, nama Samsoedi
diabadikan menjadi nama hadiah penghargaan sastra untuk buku bacaan anak-anak
dalam bahasa Sunda.
Itulah sekilas tentang gambaran kehidupan
Samsoedi dalam menulis karya-karya yang banyak menceritakan tentang kisah
akan-anak. Dalam hal ini akan kita fokuskan kedalam fenomena teks yang
terkadung dalam Novel Carita Budak Minggat. Berikut adalah ringkasan
cerita dalam Novel ini, Carita Budak Minggat Menceritakan sorang anak yang
bernama Kampeng, seorang anak yang berumur 16 tahun, yang kabur dari rumahnya
karena telah menyenggol ayah tirinya, hingga kepalanya berdarah karena
membentur sudut tiang rumanya.
Kurang lebih 10 bulan si Kampeng kabur dari
rumahnya, dan sempat menjadi kuli Kontrak di Deli dan Bengkalis. Kemudian dia
juga sempat menyelamatkan seorang kuli dari bangsa Cina yang hampir ditikam
oleh Harimau. Kampeng merupakan anak yang suka belajar dan cerdas, dia juga
menjadi ahli bangunan dan ahli kayu. Akhirnya, dia bisa pulang ke Bandung
dengan selamat, dengan membawa pengalaman yang banyak, serta membawa Uang hasil
kerja keras di Sumatra.
Berikut adalah fakta-fakta menarik tentang
kondisi sosial pada masa kependudukan Belanda yang dilukiskan dalam novel ini.
Sulitnya pekerjaan didaerah pedalaman berimbas kepada pendapatan yang minim,
namun kebutuhan hidup yang banyak. Uang merupakan harta yang berharga pada masa
itu, karena dengan benda itu bisa menukarkan apapun dengan sah.
“ieu aing pangmeulikeun bako lima sén, ka ditu ka warung; hayoh buru-buru,
cék bapa bari mikeun duit keretas sapérak. Kadé pamulangnana leungit !”
“belikan saya tembakau lima sen; ayo cepat, kata bapa saya sambil memberi
uang kertas satu perak. Awas kembaliannya hilang”
Kutipan di atas merupakan salah satu ujaran dari
ayah tiri Kampéng kepada kampeng. Secara tidak laangsung, dalam novel itu
mewakili bahwa pada masa itu Uang sudah berlaku di masyarakat pedalaman,
sekalipun jumlah nominalnya kecil bisa ditukarkan dengan beda yang sebanding
dengan harganya. Apabila kita korelasikan dengan kehidupan kita sekarang yang
jumlah nominal Uang semakin besar, maka harga barang pun akan semakin mahal
pula, begitulah perkembangan dunia ekonomi. Kemungkinan dapat ditarik benang
merah bahwa kebutuhan manusia akan semakin banyak namun berbanding terbalik
pendapatan setiap orang yang terbatas.
Dalam novel ini menerangkan bahwa tembakau
bagi Ayah tiri dari Kampeng merupakan sebuah kebutuhan pribadi yang mungkin
harus dipenuhi, maka uang yang jumlahnya kecilpun akan sangat berarti baginya.
Apabila
marxisme menyebutkan bahwa sumber daya manusia dan alat produksi merupakan
modal awal kekuatan dan kekuasaan, hal ini benar-benar terjadi dalam fenomena
teks novel ini, siapapun yang ingin bekerja dan menyepakati kontrak maka secara
tidak langsung dia telah diperbudak oleh mandor-mandor kontrak tersebut, mereka
berbuat semena-mena kepada kuli yang telah meyepakati kontrak, bahkan mereka
harus menuruti perintah mandor diluar pekerjaannya, sehingga terjadi jual-beli
kuli oleh mandor-mandor itu.
“Demi séngké-séngé nu kasampak nu kasampak di éta warung, nyaéta kuli-kuli
nu meuntas ngangkutan kai ti hiji kontrakan panuaran kai di pulo Bengkalis.
Sanggeus kuring saréréa daladahar, Tiong Hoa nu mawa kuring téa ngomong ka
hiji Tiong Hoa nu ngamandoran éta kuli-kuli, maksudna masrahkeun kuring
sabatur-batur nu kakara datang téa ka manéhna.
Ayeuna kakara kaharti yén éta Tiong Hoa nu ngamandoran téh béda jeung wérek
nu ngajual kuring barang mimiti téa, ngan ieu mah rada lemes jalanna, teu
dibarengan ku kakarasan.
Kira geus meunang sajam, kuring saréréa ngaso di éta warung, bral saréréa
indit nuturkeun mandor Tiong Hoa téa.
“Demi pekerja-pekerja yang nampak di warung itu, yaitu kuli-kuli yang
telah menyebrang mengangkut kayu dari
satu kontrakan ke tempat penebangan kayu di pulau Bengkalis.
Setelah kita semua selesai makan, orang Tiong Hoa yang membawa ku berbicara
kepada orang Tiong Hoa yang menjadi mandor kuli-kuli itu, yang bermaksud
memasrahkan saya dan yang lainnya yang baru datang.
Sekarang saya mengerti bahwa Tiong Hoa yang menjadi mandor sekarang berbeda
dengan Werek yang menjual saya sebelumnya, namun yang sekarang menggunakan cara
yang halus, tidak ada cara kekerasan.
Setelah kurang lebih satu jam, kita semua beristirahat di warung itu, semua
berangkat mengikuti mandor Tiong Hoa.
Yang
telah terjadi dalam peristiwa ini telah terjadi penipuan pada bangsa pribumi
yang hendak mencari pekerjaan, namun yang terjadi adalah penjualan manusia oleh
bangsa asing, dan akhirnya tidak bisa kembali pulang dengan mudah, semua orang
yang telah meneken kontrak dengan mandor itu telah banyak berhutang kepada
pondok, dan warung-warung yang ada di sana, sehingga yang terjadi adalah gali
lobang-tutup lobang dari hasil gaji mereka, untuk menutupi hutang mereka, semua
itu telah di setting oleh mandor-mandor yang ada, gaji yang kecil, sedangkan
bahan makan yang sangat mahal.
Begitulah Samsoedi melukiskan permasalahan
tempo penjajahan dalam carita Budak Minggat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar