Kamis, 26 Desember 2013

Esei

Wasta              : Ahamd Rijal Nasrullah
NPM               : 180210120025
Judul Novel     : Carita Budak Minggat

Pengaruh Kolonial dalam Novel anak dengan Carita Budak Minggat (1930) mewarnai setiap rangkaian fenomena teks. Kelas-kelas sosial nampak diperhatikan oleh Samsoedi, yang dititik  beratkan kepada penggunaan kebahasaan yang disesuaikan dengan mata pencaharian masyarakat Sunda yang diperbudak oleh bangsa belanda. Tentu saja novel ini merupakan gambaran dari kondisi sosial Indonesia, khususnya masyarakat Sunda pada masa penjajahan Indonesia oleh Belanda.
Buah pikir dalam novel ini tentu saja didasari oleh wawasan Samsoedi yang dipengruhi oleh lingkungan pada masanya, apalagi Samsoedi sangat senang menulis cerita tentang anak-anak. Tidak hanya bisa mengarang cerita, Samsoedi juga memiliki keahlian dalam menggambar dan membuat lirik lagu. Karyanya yang pertama berjudul Carita Nyi Halimah, yang diterbitkan pada tahun (1928). Dua tahun kemudian menerbitkan tiga buku, yaitu: Carita Budak Teuneung, Carita Budak Minggat, dan Carita Sidarun. Pada tahun (1931) menerbitkan buku Jatining Sobat dan Babalik Pikir.
Berdasarkan karya-karyanya, Samsoedi merupakan pengarang pertama Indinesia yang mengkhususkan diri menulis cerita tentang anak-anak. Bukunya ditulus dengan menggunakan bahasa Sunda yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak-anak. Tentu saja hal itu didasari setelah selesai duduk di Sekolah Guru (1917), yang kemudian ditempatkan menjadi Guru bantu di Tangerang selama 6 tahun, disamping itu Samsoedi juga sering membantu membina anak-anak di Penjara Kanak-Kanak Tangerang.
Tahun (1923) kembali bekerja di Bandung. Tujuh tahun kemudian, kembali dipindahkan bekerja di Jakata, karena telah dijadikan Redaktur Bale Pustaka, hingga runtuhya kedudukan Jepang ke tangan Indonesia.  Setelah merdeka, Samsoedi mengarang buku dalam bahasa Indonesia yang berjudul Pasundan (1949), dan buku berbahasa Sunda yang berjudul Carios Pangeran Dipanegara, diterbitkan pada tahun 1980.
Tahun 1979, diterbitan buku Kisah Syafe’i Sumarja, dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1980 diterbitkan buku Minah dan Imron kemudian buku Kisah Mandor Hutan (1983). Buku yang berbahasa Sunda yang terakhir yaitu  Si Bohim Tukang Sulap (1980). Dari tahun 1993, nama Samsoedi diabadikan menjadi nama hadiah penghargaan sastra untuk buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda.
Itulah sekilas tentang gambaran kehidupan Samsoedi dalam menulis karya-karya yang banyak menceritakan tentang kisah akan-anak. Dalam hal ini akan kita fokuskan kedalam fenomena teks yang terkadung dalam Novel Carita Budak Minggat. Berikut adalah ringkasan cerita dalam Novel ini, Carita Budak Minggat Menceritakan sorang anak yang bernama Kampeng, seorang anak yang berumur 16 tahun, yang kabur dari rumahnya karena telah menyenggol ayah tirinya, hingga kepalanya berdarah karena membentur sudut tiang rumanya.
Kurang lebih 10 bulan si Kampeng kabur dari rumahnya, dan sempat menjadi kuli Kontrak di Deli dan Bengkalis. Kemudian dia juga sempat menyelamatkan seorang kuli dari bangsa Cina yang hampir ditikam oleh Harimau. Kampeng merupakan anak yang suka belajar dan cerdas, dia juga menjadi ahli bangunan dan ahli kayu. Akhirnya, dia bisa pulang ke Bandung dengan selamat, dengan membawa pengalaman yang banyak, serta membawa Uang hasil kerja keras di Sumatra.
Berikut adalah fakta-fakta menarik tentang kondisi sosial pada masa kependudukan Belanda yang dilukiskan dalam novel ini. Sulitnya pekerjaan didaerah pedalaman berimbas kepada pendapatan yang minim, namun kebutuhan hidup yang banyak. Uang merupakan harta yang berharga pada masa itu, karena dengan benda itu bisa menukarkan apapun dengan sah.
“ieu aing pangmeulikeun bako lima sén, ka ditu ka warung; hayoh buru-buru, cék bapa bari mikeun duit keretas sapérak. Kadé pamulangnana leungit !”
“belikan saya tembakau lima sen; ayo cepat, kata bapa saya sambil memberi uang kertas satu perak. Awas kembaliannya hilang”
Kutipan di atas merupakan salah satu ujaran dari ayah tiri Kampéng kepada kampeng. Secara tidak laangsung, dalam novel itu mewakili bahwa pada masa itu Uang sudah berlaku di masyarakat pedalaman, sekalipun jumlah nominalnya kecil bisa ditukarkan dengan beda yang sebanding dengan harganya. Apabila kita korelasikan dengan kehidupan kita sekarang yang jumlah nominal Uang semakin besar, maka harga barang pun akan semakin mahal pula, begitulah perkembangan dunia ekonomi. Kemungkinan dapat ditarik benang merah bahwa kebutuhan manusia akan semakin banyak namun berbanding terbalik pendapatan setiap orang yang terbatas.
Dalam novel ini menerangkan bahwa tembakau bagi Ayah tiri dari Kampeng merupakan sebuah kebutuhan pribadi yang mungkin harus dipenuhi, maka uang yang jumlahnya kecilpun akan sangat berarti baginya.
            Apabila marxisme menyebutkan bahwa sumber daya manusia dan alat produksi merupakan modal awal kekuatan dan kekuasaan, hal ini benar-benar terjadi dalam fenomena teks novel ini, siapapun yang ingin bekerja dan menyepakati kontrak maka secara tidak langsung dia telah diperbudak oleh mandor-mandor kontrak tersebut, mereka berbuat semena-mena kepada kuli yang telah meyepakati kontrak, bahkan mereka harus menuruti perintah mandor diluar pekerjaannya, sehingga terjadi jual-beli kuli oleh mandor-mandor itu.
“Demi séngké-séngé nu kasampak nu kasampak di éta warung, nyaéta kuli-kuli nu meuntas ngangkutan kai ti hiji kontrakan panuaran kai di pulo Bengkalis.
Sanggeus kuring saréréa daladahar, Tiong Hoa nu mawa kuring téa ngomong ka hiji Tiong Hoa nu ngamandoran éta kuli-kuli, maksudna masrahkeun kuring sabatur-batur nu kakara datang téa ka manéhna.
Ayeuna kakara kaharti yén éta Tiong Hoa nu ngamandoran téh béda jeung wérek nu ngajual kuring barang mimiti téa, ngan ieu mah rada lemes jalanna, teu dibarengan ku kakarasan.
Kira geus meunang sajam, kuring saréréa ngaso di éta warung, bral saréréa indit nuturkeun mandor Tiong Hoa téa.
           
Demi pekerja-pekerja yang nampak di warung itu, yaitu kuli-kuli yang telah  menyebrang mengangkut kayu dari satu kontrakan ke tempat penebangan kayu di pulau Bengkalis.
Setelah kita semua selesai makan, orang Tiong Hoa yang membawa ku berbicara kepada orang Tiong Hoa yang menjadi mandor kuli-kuli itu, yang bermaksud memasrahkan saya dan yang lainnya yang baru datang.
Sekarang saya mengerti bahwa Tiong Hoa yang menjadi mandor sekarang berbeda dengan Werek yang menjual saya sebelumnya, namun yang sekarang menggunakan cara yang halus, tidak ada cara kekerasan.
Setelah kurang lebih satu jam, kita semua beristirahat di warung itu, semua berangkat mengikuti mandor Tiong Hoa.
           
            Yang telah terjadi dalam peristiwa ini telah terjadi penipuan pada bangsa pribumi yang hendak mencari pekerjaan, namun yang terjadi adalah penjualan manusia oleh bangsa asing, dan akhirnya tidak bisa kembali pulang dengan mudah, semua orang yang telah meneken kontrak dengan mandor itu telah banyak berhutang kepada pondok, dan warung-warung yang ada di sana, sehingga yang terjadi adalah gali lobang-tutup lobang dari hasil gaji mereka, untuk menutupi hutang mereka, semua itu telah di setting oleh mandor-mandor yang ada, gaji yang kecil, sedangkan bahan makan yang sangat mahal.

Begitulah Samsoedi melukiskan permasalahan tempo penjajahan dalam carita Budak Minggat.

Tidak ada komentar: