Minggu, 01 Juni 2014

(TTS) TaTarucingan Saeutik

TaTarucingan Saeutik (TTS)
Basa Sunda


Ka gigir
3. Kembang awi
6. Anak buhaya
7. Cingciripit tulang ................. Kacapit
9. Bapana Aki
10. Salah sahiji pakakas jeung pakarang urang Sunda
12. Suku Hayam
13. Nu deklok handapeun irung luhureun biwir
14. Nu matak lada
15. Ngaran sejen tina iket

Ka handap
1. Hayam nu kongkorongokna panjang
2. Sesebutan pikeun daun cau nu garing
4. Basa sunda panyakit mata ikan
5. Sesebutan pikeun kalapa ngora
8. Jol
10. Hese barang-béré
11. Katuangan nu dibungkus daun cau

Rabu, 01 Januari 2014

WACANA: Media, Pemaparan, dan Jenis

LAPORAN BACA WACANA
Oleh                           : Ahmad Rijal Nasrullah
NPM                          : 180210120025
Sumber                      : Buku Wacana & Pragmatik
Penyusun buku         : Prof. Dr. T. Fatimah Djajasudarma
Penerbit                    : refika ADITAMA
Tahun terbit              : 2012

Linguistik memiliki tataran bahasa yang lebih luas dari kalimat (rentetan kalimat-paragraf) yang disebut wacana. Istilah wacana merupakan istilah yang muncul sekitar tahun 1970-an di Indonesia (dari bahasa Inggris discousre). Wacana membuat rentetan kalimat yang berhubungan, menghubungkan presposisi yang satu dengan proposisi lainnya, membentuk satu kesatuan informasi. Proposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi (dari pembicaraan); atau proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang melahirkan statment (pernyataan kalimat). Pemahaman tersebut mengingatkan kita pada segitiga Ogden & Richard (1923) mengenai hubungan proposisi dengan  Tought of reference (makna-konsep).
Satuan yang minimun bagi wacana adalah apa yang disebut klausa. Klausa berfungsi sebagai penyampai pesan, memiliki struktur yang disusun berdasarkan kaidah (pola urutan) sehingga komunikatif. Para ahli berpendapat bahwa wacana merupakan klaster kalimat yang memiliki sastu kesatuan informasi yang komunikatif. Sasmpai akhir dasawarsa enam puluhan analisis wacana belum mendapat perhatian dari para ahli bahasa. Analisis wacana mencapai taha perkembangannya baru pada tahun 1970-an. Firth (1935) adalah ahli bahasa yang pertama kali menganjurkan studi wacana, melalui gagasannya bahwa konteks situasi perlu diteliti para linguis karena studi bahasa dan kerja bahasa ada pada konteks. Studi bahasa tidak dapat dilakukan bila hanya bergantung pada penataan-penataan linier (linier arrangements). Studi bahasa harus meliputi gramatika dan makna. Gagasan Firth tentang makna (semantik) berdasrkan konteks yang diannggap sebagai hasil suatu perangkat kulminasi kontekstual dalam konteks budaya suatu masyarakat (Firth di dalam Rafferty, 1982: 2).
Pemahaman dan anjuran Firth kemudian dilupakan orang dan pada saat itu tidak berkembang karena pengruh Bloomfield, yang lebih menekankan struktur, lebih berpengaruh kepada ahli-ahli bahasa sejak tahun 1933 dan mmendominasi penelitian bahsa pada zaman itu. Dalam studi wacana, kita tidak bisa hanya menelaah bagian-bagian bahasa sebagai unsur kalimat (property), tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh. Untuk menganilisis wacana, perli dipahami makna wacana itu sendiri (Djajasudarma, 1991).

A. Wacana
Para ahli bahasa pada umumya berpendapat sama tentang wacana dalam hal satuan bahasa yang terlengkap (utuh), tetapi dalam hal lain ada perbedaannya. Perbedaanya terletak pada wacana sebagai unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dengan amanat lengkap dan dengan koherensi serta kohesi tinggi. Sebenarnya, wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren, sedangkan kohesif dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukung (bentuk).
Pendapat para ahli bahasa tentang wacana mengingatkan kita pada pemahaman bahwa wacana adalah: (1) perkataan, ucapan, tutur yang merupakan satu kesatuan; (2) keseluruhan tutur (lihat Adiwimarta, dkk,. 1983). Dalam hal ini, wacana digambarkan wujudnya dengan keseluruhan tutur yang menggambarkan muatan makna (semantik) yang disukung wacana. Bila kita menyimak pendapat Edmonson di dalam Spoken Discourse: A Model for Analysis (1981), wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistik (bahsa) atau lainnya (Edmonson, 1981: 4). Disini wacana terikat dengan peristiwa yang terstruktur, dan lebih jauh dijelaskan pula bahwa teks adalah urutan-urutan ekspresi linguistik yang terstruktur membentuk keseluruhan yang padu atau uniter. Dengan demikian, di dalam hal ini penulis wacana yang terikat peristiwa (urutan ekspresi linguistik) yang membentuk keseluruhan yang padu (uniter) dari teks terstruktur. Di Eropa penelitian wacana dikenal textlinguistics atau textgrammar. Para sarjana Eropa tidak membedakan teks dari wacana; wacana adalah sebuah alat dari teks.

B. Jenis Wacana
Jenis wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (reaitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana merupakan verbal (1) dan nonverbal (2) sebagai media komunikasi berwujud tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita dapat memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, dan horatori; dari jenis pemakaian kita akan mendapatkan wujud monolog (satu orang penutur), dialog (dua orang penutur), dan pilolog (lebih dari dua orang penutur) (tentang monolog, dialog, dan pilolog, lihat Halim, 1974).


1. Realitas Wacana
Realitas Wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rankaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran bahasa) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau langage exist mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (yakni rangkaian isyarat yang berupa isyarat, a.l berupa:
 I.            Isyarat dengan gerak-gerik kepala atau muka, meliputi :
a. gerakan mata, a.l. melotot, berkedip, menatap tajam.
b. gerak bibir, a.l. senyum tertawa, meringis.
c. gerak kepala, a.l. mengangguk, menggeleng.
d. perubahan raut muka (wajah), a.l. mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam
 II.         Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
a. gerak tangan, a.l. melambai, mengepal, mengacugkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.
b. gerak kaki, a.l. mengayun, menghentak-hentakan, menendang-nendang.
c. gerak seluruh tubuh, a.l. seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana teks.

Tanda-tanda nonbahasa yang bermakna berupa : (1) tanda-tanda rambu-rambu lalu lintas, dan (2) di luar rambu-rambu lalu lintas. Tanda lalu lintas misal, dengan warna lampu stopan: merah berarti ‘berhanti’, kuning berarti ‘siap untuk melaju’, dan Hijau berarti boleh ‘melaju’; tanda di luar lalu lintas adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan dari kentongan misalnya, berarti ada bahaya. Realitas makna kentongan diwujudkan ileh masyarakat pendukung wacana tersebut.

II. Media Komunikasi Wacana
            Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya brupa:
(1)        Sebuah percakpaan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi.
(2)        Satu pengenalan ikatan percakpan (rangkaian yang lengkap,  biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, rangkain penggunaan bahasa) yang berupa:
            Ania    : “Apakah kau punya korek?”
            Rudi    : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi”.
Penggalan wacana itu berupa bagian dari percakapan dan merupakan dan merupakan situasi yang komunikatif. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud, a.l.:
(1)        Sebuah teks/bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita,sepenggal uraian ilmiah.
(2)        Sebuah alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
(3)        Sebuah wacana (khusus bahasa Inonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinat dan koordinasi atau sistem ellipsis.

3. Pemaparan Wacana
             Pemaparan wacana ini sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya. Berdasarkan pemaparan, wacana meliputi wacana: naratif, prosedural, horatori, ekspositori, dan deskriptif (lihat Llamzom, 1984).
             Wacana naratif adalah rangkain tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku (persona I atau III). Isi wacana ditujukan ke arah memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kakuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).
            Wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dengan secara kronologis. Wacana prosedural disusun untuk menjawab pertanyaan begaimana suatu peristiwa untuk pekerjaan dilakukan atau dialami, atau bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan sesuatu, misalnya cara memasak masakan tertentu, atau cara merawat mobil.
            Wacana horatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk lebih meyakinkan. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil. Wacana ini diguunakan untuk mempengaruhi pendengar dan pembaca agar terpikat akan sesuatu pendapat yang dikemukakan.
            Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu. Biasanya, berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pendangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar termasuk wacana elspositori. Wacana ini dapat berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan atau memaparkan sesuatu. Isi wacana lebih menjelaskan dengan cara menguraikan begian-bagian pokok pikiran. Tujuan yang ingin dicapai melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu.
            Wacana deskriptif berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana ini biasanya bertujuan untuk mencapai penghayatan dan imajinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Wacana deskriptif ini, ada yang memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang memaparkannya secara imajinatif.
            Wacana Dramatif menyangkut beberapa orang penutur persona dan sedikit bagian naratif. Pentas drama merupaan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal dengan sebutan ‘sandiwara’. Tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama. Sendra tari merupakan salah satu jenis drama tari, misalnya sendra tari “Lutung Kasarung”. “Munding Laya di Kusumah”, sebagai sendra tari Sunda; di dalam bahasa Indonesia dikenal sendra tari “Sriwijaya”.
            Wacana Epistolari digunakan dalam surat-surat, denga sistem dan bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea penutup.
            Wacana Seremonial berhubungna dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat bahasa. Wacana seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara perkawinan, upacara kematian, supacara syukuran, dsb. Wacana seremonial di Indonesia dapat ditelusuri melalui bahasa daerah, salah satu contoh wacana pda upacara perkawinan, sebagai nasihat bagi penganatin perempuan (upacara adat Sunda di Jawa Barat).
            Pada kenyataannya, wacana tidak hanya memiliki satu sifat saja, wacana dapat memiliki lebih dari satu sifat (jenis paparan). Hal tersebut lebih banyak bergantung pada situasi yang dihadapi dan gaya yyang biasa digunakan oleh penulis atau penutur.